Mulut Gadis Cilik Berusia 7 Tahun di India Disesaki 202 Gigi


Mulut Gadis Cilik Berusia 7 Tahun di India Disesaki 202 Gigi - Seorang ibu sekaligus pebisnis dari Gurgaon, membawa putrinya yang masih kecil ke dokter gigi. Gadis cilik berusia 7 tahun itu mengeluhkan sakit luar biasa pada gusinya yang bengkak parah dan memerah.

Dokter yang memeriksa mulut pasien kaget alang kepalang. Ia menjumpai gusi bocah itu disesaki gigi. Pemindaian sinar-X mengungkap bahwa ia mengalami compound odontoma atau tumor kompleks yang terbentuk dari jaringan gigi, yang tumbuh secara tak beraturan. Keberadaan gigi-gigi kecil itu tak kasat mata.

Tindakan operasi pun dipilih untuk meringankan penderitaannya. Paramedis dari All India Institute of Medical Sciences di New Delhi yang mengoperasi pasien, mengangkat 202 gigi dari mulut si bocah yang tak disebut namanya itu.

Pasien harus menahan sakit selama operasi yang berlangsung 2 jam, untuk menghilangkan gigi ekstranya.

"Sangat mengagetkan untuk melihat situasi sekompleks itu di mulut anak semuda itu," kata Dr Ajoy Roychoudhary seperti dari News.com.au, Kamis (20/11/2014). "Bayangkan 202 gigi di dalam mulut bocah 7 tahun."

Dr Ajoy Roychoudhary, yang mengepalai tindakan operasi mulut dan rahang atas di All India Institute of Medical Sciences mengatakan, meski operasi tergolong sederhana, namun memerlukan presisi tinggi.

"Sebab, jika ada kerusakan pada jaringan terkait atau rahang, dibutuhkan waktu lama untuk pulih. Kami menggunakan instrumen pemotong tulang khusus untuk mengangkat tumor itu," kata dokter lainnya, Dr Ongkila Bhutia.

Pascaoperasi, pasien hanya bisa mengonsumsi cairan atau makanan lembut. Dalam beberapa bulan ia sudah bisa makan dengan normal.

Kasus serupa sebelumnya menimpa Ashik Gavai, remaja 17 tahun di India. Tim dokter mencabut 232 gigi dari mulutnya. Pasien mengaku menderita rasa sakit tak terperi di bagian mulut dan gigi selama 18 bulan. Anak desa itu dibawa ke rumah sakit di kota besar, setelah dokter setempat gagal untuk mengidentifikasi penyebab masalah.

Para dokter di Mumbai yang memeriksanya menyebut, Ashik mengalami kondisi yang 'amat jarang' dan bahkan 'memecahkan rekor'.

"Perasaan sakit yang dialami Ashik didiagnosis sebagai complex composite odontoma di mana satu gusi membentuk sekian banyak gigi. Ini semacam tumor jinak," kata Dr Dhiware, seperti Liputan6.com kutip dari BBC.

"Awalnya kami tak bisa mencabutnya, jadi kami harus menggunakan semacam pahat dan palu dasar untuk mengambil gigi-gigi itu."

Tessy Menangis Menyesali Perbuatannya


Tessy Menangis Menyesali Perbuatannya - Setelah tertangkap memakai narkoba, Tessy akhirnya direhabilitasi di Lido, Jawa Barat, hari ini. Tessy pun hampir menangis saat meminta maaf menyesali perbuatannya.

Runtutan masalah yang dialami personel Srimulat itu memang bertubi-tubi. Tertangkap tengah menggunakan narkotika jenis sabu, Tessy langsung menenggak cairan pembersih. Akibatnya, Tessy harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Polri selama 27 hari.

Tessy pun sangat menyesal dengan apa yang telah dilakukannya. Bahkan, Tessy hampir menangis saat menjumpai media.

"Saya merasa makasih sekali Bareskrim, dan polisi karena sudah menyelamatkan saya. Kalau enggak, mungkin kita enggak ketemu kalian. Saya berharap, tidak akan mengulangi apa yang saya lakukan. Makasih ke teman-teman media, RS Polri, dan pelawak. Untuk warga kampung, saya menyesal dan semoga menjadi pelajaran yang berharga untuk saya," tutur Tessy saat ditemui di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (19/11/2014).

Sekadar diketahui, Tessy harus menjalani perawatan selama 27 hari di RS Polri guna memulihkan kondisinya yang sempat kritis akibat meminum cairan pembersih kamar mandi setelah tertangkap mengonsumsi narkoba.

Dan, hari ini, Tessy akhirnya bisa menjalani rehabilitasi di Lido, Sukabumi, Jawa Barat.




sumber: okezone.com

Kisah Mesin Jahit Goyang di Kediaman Cut Nyak Dien

 
Cut Nyak Dien adalah salah satu pahlawan Indonesia yang diasingkan oleh tentara Belanda. Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang karena dianggap berpotensi membuat ancaman.

Tanpa fisik yang sempurna, Cut Nyak Dien akhirnya diasuh dan dirawat oleh keluarga K.H Sanusi yang merupakan ulama Masjid Agung Sumedang. Dia pun tinggal di rumah K.H Sanusi yang berada tidak jauh dari makamnya.

Rumah berukuran 12 x 14 meter itu tampak sepi dari pengunjung. Rumah tersebut merupakan saksi sejarah kisah pahlawan wanita Indonesia, Cut Nyak Dien saat melewati hari – harinya sebagai orang yang diasingkan oleh tentara Belanda.

Di rumah tersebut, ada sebuah ruangan berukuran 3 x 5 meter yang menjadi kamar Cut Nyak Dien. Di kamar tersebut terdapat ranjang berukuran 2 x 2 meter. Selain itu, ada juga mesin jahit di dalam rumah tersebut. Menurut pengakuan beberapa orang yang berada di sana, konon mesin jahit tersebut suka berjalan sendiri.

“Katanya sih mesin jahitnya suka berjalan atau goyang – goyang sendiri, seperti ada orang yang sedang menjahit,” kata Dwi salah seorang yang pernah mengunjungi rumah K.H Sanusi yang juga merupakan rumah tempat Cut Nyak Dien dirawat.

Rumah itu berbentuk seperti rumah panggung. Di dalamnya sudah tidak banyak barang hanya benda – benda peninggalan yang dipakai oleh Cut Nyak Dien. Menurut Dadang, anak cucu keturunan K.H Sanusi benda – benda tersebut sengaja dipindahkan.

“Benda – benda yang lainnya masih digunakan oleh keluarga sehingga ada yang dipindahkan. Kalau yang ada di rumah hanya benda yang digunakan oleh Cut Nyak Dien saja,” kata Dadang.

Cut Nyak Dien merupakan pahlawan nasional dari Aceh Barat yang mendapat julukan Srikandi Indonesia. Dia anak dari Teuku Nanta Setia, sedangkan ibunya adalah bangsawan dari Lampagar. Cut Nyak Dien dilahirkan tahun 1848, dari kecil dia mendapat pendidikan agama dari lingkungan bangsawan – bangsawan Aceh.

Cut Nyak Dien ditangkap Belanda pada tanggal 6 November 1905 atas laporan panglima perangnya Teuku Panglaor. Laporan Panglima Panglaor sebenarnya bukan untuk mengkhianatinya tetapi dia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien karena Cut Nyak Dien sudah tidak bisa melihat (buta). Panglima meminta Belanda untuk tidak menyiksanya atau pun diasingkan.

Tetapi pada 11 Desember 1906, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang bersama panglima perangnya dan seorang anak laki – laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heuts yang menerima Cut Nyak Dien. Dia langsung menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekah) yang merupakan anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih).

Untuk perawatan Cut Nyak Dien, Pangeran Mekah menyerahkannya kepada seorang ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H Sanusi. Tetapi K.H Sanusi hanya satu tahu merawat Cut Nyak Dien karena beliau meninggal tahun 1907. Perawatan Cut Nyak Dien pun dilanjutkan oleh anak K.H Sanusi bernama H. Husna, sampai Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 Novemper 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluara H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat.

Kegiatan Cut Nyak Dien selama dalam perawatan H. Husna walaupun matanya sudah tidak bisa melihat, tapi beliau masih bisa memberikan pelajaran mengaji khususnya kepada ibu – ibu warga Kaum, umumnya masyarakat Sumedang. Sehingga Cut Nyak Dien mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu, sedangkan masyarakat Sumedang menyebutnya Ibu Suci.

Orang yang paling dekat dengan Cut Nyak Dien adalah Siti Hodijah yang merupakan anaknya H. Husna. Siti wafat pada tahun 1967 dan di makamkan di Gunung Puyuh. Cut Nyak Dien berkomunikasi hanya dengan K.H Sanusi, H. Husna, dan Siti Hodijah, itu pun dengan bahasa Arab.

Sebelum tahun 1950, tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, masyarakat hanya tahu bahwa makam tersebut adalah makam Ibu Perbu. Mereka baru mengetahuinya setelah H. Husna wafat pada tahun 1948 bahwa itu adalah makam Cut Nyak Dien.

Setelah Cut Nyak Dien wafat, Teuku Nana seorang bocah yang juga diasingkan bersamanya tetap tinggal di Sumedang dan menikah dengan gadis dari Cipada bernama Iyoh. Mereka mempunyai tiga orang anak bernama Maskun, Ninih, dan Sahria. Kemudian pada tahun1930 Teuku Nana, istrinya, dan anak – anaknya pulang ke Aceh dan tidak pernah kembali lagi ke Sumedang.

Setelah penduduk mengetahui makam Cut Nyak Dien, pada tahun 1962, Rd. Oemar Sumantri, anak Siti Hodijah, memberikan izin untuk upacara sederhana mengenang jasa – jasa Cut Nyak Dien ke sebelah barat. Pada tahun 1972, makam Cut Nyak Dien direnovasi oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan pada tahun 1987, bangunan tersebut direnovasi kembali oleh Bapak Bustanil Arifin, Menteri Bulog bersamaan dengan mendirikan Meunasah (mushola) yang diresmikan oleh Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, Bapak Ibrahim Hasan.

Kini, makam Cut Nyak Dien sudah seperti makam yang dari sisi arsitektur tua tetapi memiliki unsure modern. Berbeda dengan makam – makam yang ada di sekitarnya, termasuk makam Pangeran Soegih yang jaraknya hanya beberapa meter dari makam Cut Nyak Dien. Jika makam Cut Nyak Dien letaknya berada di tengah – tengah makam para pengasuhnya, makam Pangeran Soegih yang merupakan mantan Bupati Sumedang yang ke – 7.

Sementara makam Cut Nyak Dien tidak terlalu berbau mistis, di makam Pangeran Soegih suasana mistis justru lebih kentara. Saat pertama kali memasuki makam Pangeran Soegih, kita disuguhkan dengan berbagai bunyi – bunyian hewan, selain itu bau dupa pun amat sangat menyengat.

Di makam Pangeran Soegih disediakan tempat menginap bagi para peziarah yang ingin berdoa. Tetapi kalau di makam Cut Nyak Dien tidak disediakan tempat menginap.

“Makam Cut Nyak Dien memang sengaja tidak disediakan tempat menginap karena di sini adalah makam pahlawan bukan makam raja. Kalau di makam raja memang disediakan tempat menginap agar para peziarah bisa dengan khusyuk berdoa untuk para raja di sini,” kata Dadang penjaga makam Cut Nyak Dien dan makam keluarga K.H Sanusi.

Dadang merupakan salah satu keturunan K.H Sanusi yang merawat Cut Nyak Dien. Setiap harinya dia bekerja dengan menjaga makam. Dia harus berjalan kurang lebih 3 kilometer dari tempat tinggalnya. Karena dia tinggal di sekitaran Masjid Agung yang juga merupakan tempat tinggal Cut Nyak Dien.

Selain menjaga makam terkadang dia juga menjaga rumah bekas tempat tinggal Cut Nyak Dien. Tidak jarang dia sering ditemui oleh sang pemilik rumah.

“Kalau mimpi sering sekali bertemu dengan Cut Nyak Dien, terkadang saya memanggilnya dengan sebutan nama tetapi kadang – kadang saya panggil ibu,” kata Dadang.

Menurut Dadang, tidak ada yang menyeramkan dari sosok Cut Nyak Dien. Pertemuannya dengan Cut Nyak Dien justru membawa berkah tersendiri untuknya. Karena setiap kali bertemu dia selalu diberikan nasihat – nasihat, khususnya untuk urusan ekonomi dan keluarga.

“Kalau di mimpi ibu kadang – kadang suka kasih nasihat soal masalah ekonomi, apalagi kalau ada yang punya usaha dia harus melakukan apa agar usahanya itu berhasil. Selain itu ibu juga suka kasih nasihat agar rumah tanggan menjadi harmonis sampai tua,” kata Dadang serius.

Dadang mengaku ketika menjaga rumah Cut Nyak Dien tidak pernah menemukan sosok Cut Nyak Dien. Dia justru pernah bertemu langsung dengan Cut Nyak Dien saat dirinya sedang menjaga makamnya.

“Waktu itu saya habis wirid di musala terus tiba – tiba saya melihat ada sosok berbaju putih sedang berdiri di depan makam Cut Nyak Dien. Dia itu tinggi dan langsing. Pas saya lihat ternyata itu Cut Nyak Dien, lalu saya langsung mengucapkan salam kepadanya. Setelah mengucapkan salam dia langsung hilang,” kata Dadang.

Dadang mengatakan sangat bersyukur memiliki kesempatan menjaga tempat – tempat penting yang pernah dihuni oleh Cut Nyak Dien. Dia mengaku, sejak tahun 1963 dia menjaga makam tersebut. Namun selama itu dia menjaga belum pernah ada seorang pun sanak keluarga asli dari Cut Nyak Dien yang datang untuk nyekar ke makam Cut Nyak Dien.

“Kalau orang – orang dari Aceh memang banyak yang pernah datang ke sini tetapi belum pernah ada keluarga kandungnya yang datang ke sini untuk mendoakan makam Cut Nyak Dien,” kata Dadang.

Meski begitu, Dadang mengaku sudah senang dengan keberadaan penduduk lain selain dari kota Aceh yang datang ke makam Cut Nyak Dien. Karena banyak juga dari mereka yang datang untuk berdoa. “Meski memang banyak dari mereka yang datang untuk minta ditambahkan rezeki atau dilancarkan usahanya,” kata Dadang.

Menurut Dadang hal tersebut meman sudah biasa dilakukan oleh para peziarah. Karena tradisi di Sumedang masih sangat kental dengan hal – hal mistik. “Kalau di Sumedang itu terkenalnya selain makanan tahu juga terkenal dengan dunia mistisnya. Kebanyakan orang – orang yang datang ke sini itu untuk berziarah, untuk meminta agar rezekinya atau usahanya dilancarkan. Banyak caranya termasuk datang ke makam, menginap sampai beberapa hari sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan,” kata Dadang.

Sementara untuk tempat tinggal Cut Nyak Dien, Dadang mengatakan sampai saat ini kondisi rumah masih tetap bagus seperti dulu. Apalagi, lanjutnya, rumah itu sekarang sudah direnovasi dan dijadikan sebagai museum. “Rumahnya sekarang jadi lebih bagus karena sudah dijadikan museum oleh pemerintah daerah Sumdedang,” kata Dadang.

Terkait banyaknya kisah – kisah mistis di rumah tersebut, Dadang mengatakan hanya pernah mendengarnya saja dari beberapa orang yang pernah mengunjungi rumah tersebut. Namun, dia sendiri mengaku belum pernah mengalaminya sendiri.

“Kalau di rumah Cut Nyak Dien saya belum pernah mengalaminya tetapi kalau mendengar ceritanya pernah. Yang paling sering dicerita yaitu adanya penghuni yang menghuni di mesin jahit yang biasa dipakai Cut Nyak Dien. Beberapa dari orang – orang yang pernah datang cerita kalau mereka pernah melihat mesin jahit itu bergoyang – goyang, seperti ada orang yang sedang menjahit,” katanya.

Namun Dadang meminta agar masyarakat tidak menghiraukan hal – hal seperti itu. Karena menurutnya, disetiap tempat apalagi yang mempunyai nilai sejarah pasti ada saja penghuninya.

“Kita boleh saja percaya tetapi jangan terlalu dilebih – lebihkan karena nantinya malah jadi musyrik dan hal itu sangat dibenci oleh Allah. Kita berdoa saja agar Cut Nyak Dien dan raja-raja di Sumedang bisa meninggal dengan tenang di sana,” kata Dadang serius.

Sejarah Candi Mendut


Sejarah Candi Mendut  - Candi Mendut merupakan candi yang terletak paling timur dari garis lurus tiga serangkai candi (Borobudur, Pawon, Mendut). Candi ini didirikan oleh dinasti Syailendra dan berlatar berlakang agama Budha, dimana hal ini ditunjukkan dengan adanya bentuk stupa sebanyak 48 buah pada bagian atasnya.Tidak diketahui secara pasti kapan candi ini didirikan. Namun seorang arkeologi Belanda menyebutkan bahwa didalam prasasti yang ditemukan didesa karangtengah bertarikh 824M dikemukakan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama venunavayang artinya adalah hutan bambu. Jika hal ini benar maka bisa dipastikan Candi Mendut didirikan pada abad ke 8 Masehi.

Candi mendut
Pada bagian dalam candi ini terdapat ruangan yang berisikan altar tempat tiga arca Budha berdiri. Ketiga arca tersebut mulai dari yang paling kiri adalah Bodhisattva Vajravani, Buddha Sakyamuni dan Bodhisattva Avalokitesvara. Ketiga arca Budha tersebut masih dalam kondisi bagus, beberapa bunga-bunga dan dupa nampak tergeletak dibagian bawahnya. Sebuah pagar besi dibangun dibagian depan arca tersebut untuk menghindari interaksi pengunjung yang berlebihan/tidak berkepentingan atas ketiga patung Budha ini.

Relief-relief yang terdapat pada dinding candi ini masih jelas terlihat bentuk/ukirannya. Relief tersebut mengandung cerita berupa ajaran moral dengan menggunakan tokoh-tokoh binatang (fabel) sebagai pemerannya. Terdapat cerita "Brahmana dan Kepiting", "Angsa dan Kura-kura", "Dua Burung Betet yang Berbeda" dan "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi", yang secara ringkas isi ceritanya adalah sebagai berikut:

Budaya - Candi Mendut
Relief bagian belakang candi merupakan relief terbesar pada candi ini menggambarkan Budha Avalokitesvara

"Brahmana dan Kepeting": Menceritakan kisah seorang brahmana yang menyelamatkan seekor kepiting untuk kemudian kepiting ini membalas budi dengan cara menyelamatkan brahmana dari gangguan gagak dan ular.
"Angsa dan Kura-kura": Bercerita tentang seekor kura-kura yang diterbangkan dua ekor angsa kedanau yang baru. Karena emosi dalam menangapi perkataan atas apa yang mereka lakukan, kura-kura melepaskan gigitannya sehingga jatuh ketanah dan akhirnya mati.

"Dua Burung Betet yang Berbeda": Mengisahkan kelakukan dua burung betet yang sangat berbeda karena satunya dibesarkan oleh brahmana dan satunya lagi oleh seorang penyamun.

"Dharmabuddhi dan Dustabuddhi": Dua orang sahabat yang berbeda kelakuannya dimana Dustabuddhi yang memiliki sifat tercela menuduh Dharmabuddhi melakukan perbuatan tercela, namun akhirnya kejahatannya terbongkar dan Dustabudhi-pun dijatuhi hukuman.

Secara kronologis, Candi Mendut ditemukan pada tahun 1836. Kemudian di renovasi pada tahun 1897 dan 1904 pada bagian tubuh candi namun hasilnya kurang memuaskan. Pada tahun 1908 dipugar kembali oleh arkeolog belanda hingga bagian puncaknya dapat disusun kembali. Tahun 1925 sejumlah stupa yang telah dirapihkan, dipasang dan disusun kembali. Luas bangunan secara keseluruhan adalah 13,7x13,7 meterdengan tinggi 26,4 meter.

Sejarah Candi Mendut
Candi Mendut merupakan candi Budha yang dididrikan oleh Raja Indra seorang raja pertama dari trah Dinasti Syailendra pda 824 M, ini artinya Candi Mendut dibangun lebih awal dari Candi Borobudur yang didirikan oleh Raja Samaratungga, Wangsa Syailendra pada 850 M.
Candi mendut terletak di desa Mendut Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km sebelum Candi Borobudur. Tinggi Candi Mendut 26,4 meter, menghadap barat daya, memilki 48 stupa kecil-kecil dan terdapat hiasan relief pada tubuh candi berupa pohon kalpataru.
Reflief-relief yang terdapat pad dinding candi ini masih jelas terlihat. Relief ini mengandung cerita berupa ajaran moral dngan menggunakan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya. ntara lain terdapat cerita Brahmana dan Kepiting, Angsa dan kura-kura, Dua Burung Betet dan Dharmabuddhi dan Dustabuddhi.

Candi Mendut merupakan lokasi awal proses ritual Waisak, dengan diikuti pengambilan air suci dari Umbul Jumprit, Parakan, Temanggung, serta api suci dari merapen, Grobogan. Puncak upacara Waisak adalah upacara Pradaksina yakni upacara mengelilingi Candi Borobudur tingkat demi tingkat yang dilaksakan di Candi Borobudur tepat pada Purnama Sidhi atau bulan purnama pertama di bulan Mei. Perayaan atau ritual Waisak dapat disaksikan oleh masyarakat luas.

Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang presiden Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.

J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani.

Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.

Candi Bajangratu


Juri Rakyat - Candi Bajangratu. Memerlukan berbagai upaya yang begitu rumit, untuk tidak menyebutnya sebagai usaha yang mustahil, dalam menyatukan puzzle dari Majapahit yang terpecah-pecah melalui sebaran penemuan candi-candi di Trowulan. Kali ini, kami mengunjungi Candi Bajangratu yang terletak di antara (setelah) Situs Pendopo Agung dan (sebelum) Candi Tikus, sekitar kurang dari 2 km dari Museum Trowulan. Perjalanan kami tempuh dengan menaiki becak yang dengan mudah ditemukan di sekitar museum.

Candi Bajangratu merupakan candi berbentuk gapura atau pintu gerbang serupa Candi Wringin Lawang. Bedanya, Bajangratu bertipe paduraksa, artinya berupa gapura yang beratap. Candi terbuat dari bata merah dengan lantai andesit ini, memiliki denah persegi yang mengerucut ke atas. Uniknya, bagian puncak candi bukan berbentuk stupa atau mata panah atau lingkaran, melainkan persegi. Sekilas, wujudnya menyerupai bangunan Hindu, juga Buddha. Namun sampai saat ini, Candi Bajangratu masih belum bisa dipastikan apakah ia bangunan cengan corak Hindu atau Buddha atau paduan keduanya. Oleh sebab itulah, banyak arkeolog berkesimpulan bahwa candi termasuk ke dalam jenis candi non-religius karena terdapat kemungkinan bahwa candi tidak memiliki keagamaan yang jelas atau bersifat netral (universal).

Wafatnya Sang Raja
Bajangratu diperkirakan telah ditemukan kembali oleh Belanda sekitar tahun 1915. Pada tahun itu, kemungkinan candi mengalami pemugaran untuk pertama kalinya. Setelahnya, tahun 1989 dikonservasi lagi dan selesai pada 1992. Nama “Bajangratu” sendiri memiliki makna yang masih simpang siur. “Ratu” dikonotasikan sebagai raja atau pemimpin kerajaan, sementara “bajang” dapat diterjemahkan sebagai hantu yang berkuku panjang atau manusia/makhluk yang cacat. Sementara itu, Gapura Bajangratu merupakan tempat yang disebut dalam Kitab Nagarakretagama sebagai Sri Ranggapura atau Istana Sri Rangga. Pencantuman tersebut berkaitan dengan mangkatnya Kaligemet, yang tak lain adalah putra mahkota dari pendiri sekaligus raja pertama Majapahit, yaitu Raden Wijaya. Anak dari raja yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana tersebut merupakan anak dari istri yang bernama Prameswari. Tahun 1328, pangeran yang mulai memerintah Majapahit di usia muda itu meninggal dunia saat kondisi kerajaan tengah berkecamuk karena pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Gelar Jayanegara yang disandangnya kemudian membuatnya lebih dikenal sebagai Raja Jayanegara.

Pratista (tempat dan bangunan suci) Sang Raja yang masih berada di Trowulan tersebut diduga berada di sekitar Candi Bajangratu di Desa Temon. Hal inilah menguatkan dugaan bahwa Candi Bajangratu adalah candi gapura atau pintu masuk menuju bangunan suci dan sakral yang menjadi lokasi dimakamkannya atau tempat untuk mengenang Jayanegara.

Sebuah Epik dan Hewan-hewan Sakral
Keindahan Candi Bajangratu tidak hanya terletak pada bentuknya yang mirip dengan pura di Bali, tetapi juga pada keunikannya karena terbuat dari bata merah serta berhiaskan aneka relief pada bagian-bagian tertentu. Meski hanya tersisa luas 11,5 x 10,5 meter dengan tinggi 16,5 meter, candi ini tidak kehilangan pesonanya. Relief memang tampak agak kabur dan tak sempurna, tetapi masih bisa dilihat dan diprediksi bentuknya.

Mendekati lorong yang selebar 1,4 meter tersebut, terdapat relief Kala dengan berbagai simbol semesta (sulur atau spiral) yang mengelilinginya serta menghiasi setiap level hingga ke atap. Puncaknya memang berakhir dengan bentuk persegi, namun hiasan spiral di tahapan tertinggi candi, membentuk segitiga sebagai simbol pencapaian menuju Dunia Atas. Segitiga juga menjadi metafor bagi gunung atau sesuatu yang agung (Tuhan). Motif sulur/spiral juga ditemukan di badan dan sayap candi yang geometris ini.

Relief pada Bajangratu sedikitnya memiliki dua kisah, yaitu cerita Sri Tanjung pada kaki gapura dan cerita Ramayana pada sayap kanan. Selain itu terdapat simbol sakral lainnya yang terkait langsung dengan dunia spiritual (non-fisik), seperti relief mata satu. Banyaknya simbol berupa lingkaran, seperti sulur, bunga, dan matahari, merupakan perlambang dari suatu pencerahan (awakening/enlightenment/God).

Sosok lain berupa singa, naga, dan garuda, pada kepercayaan Hindu maupun Buddha, dianggap sebagai sosok magis yang menjadi kendaraan bagi suatu kepergian atau pelepasan (pencapaian menuju dunia lain). Mungkinkah ini berarti bahwa Jayanegara memiliki peran yang lebih dari sekedar seorang raja? Atau Bajangratu menyimpan sakralitas lain yang lebih dari sekedar tempat untuk menghormati orang yang telah meninggal? Sebuah pintu yang dipercaya oleh orang dahulu sebagai lokasi menuju dimensi lain (menembus ruang dan waktu yang berbeda)?

Banyak ahli, mengacu pada tahun kematian Raja Jayanegara untuk menentukan usia Candi Bajangratu yang diduga dibangun pada abad ke-13 sampai 14. Sebagian masyarakat lokal dan kelompok spiritual tertentu, masih menganggap Bajangratu sebagai bangunan yang suci dan sakral.

Lokasi pemakaman Sang Raja yang – menurut para ahli sejarah – dibunuh oleh tabibnya sendiri itu, masih belum ditemukan. Bangunan yang disebut-sebut sebagai bangunan suci di mana Candi Bajangratu menjadi gapuranya tersebut, juga masih diliputi misteri. Namun setidaknya, kehadiran candi non-religius ini memberikan petunjuk adanya sesuatu yang lebih besar dari apa yang terlihat. Entah itu bangunan megah dan suci di belakangnya atau pemaknaan yang lebih dalam dari sekedar sebuah pintu masuk menuju sesuatu yang mencerahkan.

Sumber:

Kusumawijaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.

Tolle, Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. USA: Plume.

Tips Perjalanan:
Untuk menuju Candi Bajang Ratu, perjalanan dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu Terminal Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi di Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan. Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.

Candi Bajang Ratu dapat dicapai dengan menggunakan jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos becak sesuai dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa mengelilingi sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan biaya sekitar Rp 50 ribu.

Kunjungilah terlebih dulu Museum Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi Bajang Ratu.

Tak banyak rumah makan atau pedagang makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan perbekalan selama berkunjung.

Candi Batujaya


Tak banyak memang penemuan candi di lokasi Jawa Barat seperti halnya di kawasan Jawa Tengah, Jogja, maupun Jawa Timur. Tetapi, bukan berarti tidak ada. Apalagi mengecilkan nilai sejarah-budaya dari Jawa Barat itu sendiri yang sebenarnya memiliki peradaban yang tak kalah pentingnya dari kawasan lain di Nusantara, pula perannya bagi hubungan dan perdagangan internasional berabad-abad silam.

Kali ini, kami bertolak menuju kawasan yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jawa Barat, yaitu Karawang. Dari Jakarta, akses dan transportasi publik menuju Karawang, tidaklah sulit. Pagi-pagi sekali, kami berangkat dengan bus menuju Karawang. Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan dengan pemandangan berupa hamparan sawah yang telah menguning. Para petani pun tampak sibuk memotong padi.

Kompleks Percandian Batujaya mencakup area seluas 5 km2 di wilayah administrasi Desa Segaran, Kec. Batujaya dan Desa Telukbuyung, Kec. Pakisjaya (semula Desa Telagajaya, Kec. Batujaya) Kab. Karawang, Jawa Barat. Terdapat lebih dari 20 reruntuhan bangunan bata yang meliputi persawahan dan perkampungan penduduk. Sebagian besar situs masih berupa gundukan tanah berupa bukit-bukit kecil dengan tinggi 1-4 meter, yang oleh penduduk sekitar kerap disebut unur (bukit kecil) dan dianggap keramat. Berbeda dengan candi lain yang biasanya ditemukan dan direkonstruksi oleh Belanda pada masa kolonialisme, Percandian Batujaya pertama kali ditemukan tahun 1984 oleh tim Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Univ. Indonesia (UI).

Candi Jiwa
Udara yang panas dan kering terbawa oleh hembusan angin hingga terasa di kulit kami. Begitu sampai di pintu masuk lokasi percandian, kami mengisi buku kehadiran. Tak ada tiket masuk, hanya donasi seikhlasnya. Untuk menuju lokasi candi yang terletak di tengah-tengah persawahan, kami hanya tinggal mengikuti sebuah jalan setapak terbuat dari beton yang menghubungkan pengunjung dan candi.

Sebelumnya, masyarakat menyebutnya sebagai Unur Jiwa (Bukit Jiwa). Kini, menjadi Candi Jiwa, terletak tak jauh dari tempat kami mengisi buku tamu. Unur yang semula ditumbuhi pohon pisang dan palawija ini merupakan yang pertama kali mengalami ekskavasi tahun 1985 oleh tim arkeologi dari UI.

Saat ini, Candi Jiwa tak lagi utuh, namun menyisakan bagian kaki berupa persegi dengan ukuran 19 x 19 m (diamond shape) dengan tinggi yang tersisa sekitar 4,7 m dan terbuat seluruhnya dari bata merah. Meski telah berwarna redup agak kehitaman, namun warnanya yang kontras di antara sawah, membuatnya terlihat begitu spesial dan menyala di bawah terik langit yang biru.

Tak ada tangga pada Candi Jiwa. Bentuknya yang bujur sangkar (wajik) mengingatkan kami pada Candi Sumberawan. Pada bagian atas, terdapat sisa lingkaran berdiameter 6 m yang diduga adalah bentuk stupa yang kini telah hilang. Di sinilah biasanya tersimpan relik Buddha, sehingga memiliki makna spiritual yang tinggi. Keberadaan stupa juga menguatkan fungsi candi sebagai bangunan sakral pemujaan, sekaligus coraknya yang berlanggam Buddha. Biasanya, peribadatan yang dilakukan untuk tipe candi stupa adalah berupa pradaksina, yaitu berjalan mengelilingi candi (yang menjadi patha atau garis edar) sebanyak tiga kali searah jarum jam sambil membaca sutra dan mantra (doa). Ritual kuno ini masih dilakukan hingga sekarang. Pada Perayaan Trisuci Waisak, umat Buddha kerap datang kemari untuk melakukan pradaksina. Sejumlah inskripsi berbahasa Palawa dan Sansekerta juga ditemukan di sekitarnya. Sebagian adalah bata, sebagian lainnya berupa lempengan emas yang menuturkan Karma dan Dharma.

Candi Blandongan
Cuaca hari itu begitu cerah. Angin masih terasa hangat dan awan putih mengepul pada langit biru. Kami melanjutkan berjalan mengikuti jalan setapak berbeton di tengah sawah. Di ujung sana, adalah Candi Blandongan. Warnanya merah pada bangunan batu bata tersebut begitu terlihat menonjol, juga megah. Ukurannya tampak jauh lebih besar dari Candi Jiwa.

Candi yang disebut masyarakat sekitar sebagai Unur Blandongan ini juga tidak menyisakan bangunan yang utuh. Denah bujur sangkar pada bagian kaki berukuran 25 x 25 m, sedangkan sisa bagian tengah hanya 10 x 10 m. Pada setiap sisi candi, terdapat tangga naik dan pada badan candi juga terdapat lantai yang dilapisi dengan beton stuko (serta adukan kerikil). Tidak hanya lantai, pada bagian dinding ditemukan pula lepa stuko.

Candi Blandongan merupakan satu-satunya candi di Batujaya yang masih memiliki bagian badan candi. Di sekitarnya, telah ditemukan banyak sekali peninggalan berupa, perhiasan, materai terakota, gerabah, serta inskripsi dengan corak yang mirip dengan seni patung dan pahat pada situs maupun candi di Nandala. Beberapa patung yang menggambarkan sosok Buddha pun memiliki kemiripan dengan sosok Buddha di kawasan Thailand.

Pada bagian-bagian tertentu, para peneliti menemukan adanya relung-relung yang kemungkinan adalah struktur kayu untuk tiang, pintu, dan jendela. Kemungkinan ini diperkuat dengan ditemukannya sisa-sisa arang yang membawa pada kesimpulan bahwa candi pernah mengalami kebakaran dan kemudian dibangun kembali (fase kedua diduga sekitar 980 M) seperti bentuknya yang sekarang berupa penebalan bagian kaki, penambahan tangga, dan peninggian candi. Selain sisa pembakaran kayu, ternyata terdapat pula sisa pembakaran padi yang membuktikan kehidupan agraris masa itu.

Seorang pedagang makanan kecil dan minuman dingin di dekat Candi Jiwa, sempat bercerita pada kami mengenai adanya penampakan sosok dewi yang muncul bersama para pengikutnya di Candi Blandongan. Namun, kisah-kisah mistis dan spiritual di kawasan Percandian Batujaya, tak lagi diceritakan karena benturan pada nilai-nilai agama yang kini dianut. Meski tak ada sistem keamanan yang ketat, tapi warga sekitar tak ada yang berani mengambil bagian candi apalagi benda-benda berharga lainnya yang ditemukan di sekitar candi. Hal ini disebabkan, sebelumnya banyak orang yang mengambil atau memindahkannya, kerap tertimpa bencana, mulai dari sakit, kecelakaan, hingga meninggal dunia. Sehingga, masyarakat percaya untuk melindungi berbagai candi dan situs dengan tetap membiarkannya seperti apa adanya.

Berbekal petunjuk dari satu-satunya pedagang kecil tersebut, lalu kami memberanikan diri untuk keluar dari jalan setapak beton dan berjalan menembus persawahan menuju situs candi lainnya.

Saat itu, persawahan di sekitar candi tengah mengalami gagal panen. Tanahnya mengering agak keras dan bulir-bulir pada menjadi kosong. Pada tepian sawah, kami menuju Situs Segaran II (Unur Lempeng) yang berupa gundukan kecil yang ditanami pohon kelapa, pisang, dan rumput. Di sini, kami menemukan banyak sekali bata dan batu berserakan di mana-mana, juga terdapat sumur tua dengan air yang sangat jernih dan segar.

Berjalan lurus ke arah barat, kami kembali menembus persawahan di mana kami menemukan lagi sebuah candi. Masyarakat menyebutnya Unur Serut. Candi terbuat dari bata dan menyisakan bagian kaki yang tergenang air. Lokasinya bersebelahan dengan rumah penduduk. Sejumlah bebek berlarian dari genangan air pada candi ketika kami mendekat. Masih dengan rasa penasaran, kami pun bertanya pada seorang perempuan paruh baya yang kami temui mengenai lokasi lain dari situs-situs percandian. Ia pun mengantar kami untuk berjalan lurus saja ke arah barat mengikuti jalan setapak desa yang bertanah dan – yang membuat kami kaget pada sisi jalan tertentu – berbata merah besar mirip lantai candi.

Kami menemukan lagi sumur kecil tua berdinding bata, serta unur-unur lainnya yang menyatu dengan persawahan, pemakaman, bahkan rumah-rumah penduduk.

Sebaran yang sporadis dan terkesan tak berpola pada Kompleks Percandian Batujaya ternyata memiliki kemiripan dengan Kompleks Percandian Muarajambi dan Kompleks Wihara Anuradhapura di Sri Lanka. Dari analisis stratigrafi di sana, lokasi percandian ternyata mencakup dan menggambarkan 4 strata budaya: pra-sejarah, peralihan, Hindu-Buddha, dan paska-Hindu-Buddha.

Era pra-sejarah ditandai dengan penemuan budaya Buni, yaitu masyarakat yang pertama kali berada di pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Kesenian pada mas ini adalah kreasi gerabah yang banyak ditemukan di sekitar lokasi percandian. Masa perundagian di Batujaya diduga sekitar 1.000 SM hingga 500 M. Sedangkan masa peralihan menjadi titik dimulainya kontak masyarakat Buni dengan budaya India (yang kental dengan nuansa Hindu-Buddha) di mana akulturasi kemudian berproses sekitar abad ke-2 hingga ke-4. Memasuki periode Hindu-Buddha, memunculkan kelahiran kerajaan tertua di Jawa: Tarumanagara tahun 450 (sekitar abad ke-5). Keterkaitan Tarumanagara pada fase kedua (sekitar abad ke-8) dengan kebudayaan dan spiritualitas Buddha, menguat dengan adanya corak kesenian Nalanda yang kemungkinan masuk melalui Sriwijaya sebagai pusat ajaran Buddha,sekaligus kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Tarumanagara adalah pintu masuk bagi Sriwijaya memperluas kekuasaan (juga sebaran pengaruh Buddha).

Menarik. Meski mungkin sebagian pengunjung merasa tak begitu antusias atau kecewa dengan bangunan candi yang tak utuh dan masih berupa reruntuhan, bahkan gundukan tanah saja, namun kekayaan sejarah yang terkandung pada Kompleks Percandian Batujaya menjadi bukti nyata keagungan peradaban masyarakat Jawa Barat. Bagi kami, keindahan dan makna dalam pada candi-candi di sini, memiliki definisinya tersendiri yang membuatnya berbeda dari candi lainnya di Nusantara.

Aliran Sungai Citarum yang berada di dekat candi, hingga saat ini masih lekat dengan kehidupan agraris masyarakat Karawang. Perjalan pulang kami kembali dihiasi dengan hamparan sawah dan kesibukan para petani memasuki masa panen. Beberapa kali, kami melihat keramaian di pinggir jalan berupa arak-arakan anak kecil yang habis disunat duduk di atas sisingaan sambil diiringi musik tradisional serta akrobat dan tari-tarian.

Sejarah Candi Jiwa

Sejarah Candi Jiwa - Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.


Kependudukan
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.
Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.

Lokasi



Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.


Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Candi Jiwa



Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.



Jalan setapak yang akan dikelilingi umat Budha saat mengadakan ritual
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya.

CANDI GAYATRI/ BOYOLANGU

Juri Rakyat - Candi Gayatri/Boyolangu. Candi Gayatri adalah reruntuhan candi Hindu yang berada ditengah pemukiman penduduk di dusun Boyolangu, kalurahan Boyolangu, kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.

Pada bagian tangga batu candi ini terdapat tulisan angka 1289 (1367 M) dan 1291 Çaka (1369 M), yang kemungkinan dipakai untuk menandai tahun pembuatan dari Candi Gayatri, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit.


Candi ini merupakan makam Gayatri yang juga bergelar Sri Rajapatni, istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

Di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangunArca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta JnyanawidiTelah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agamaLaksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda(Pupuh LXIX, Bait 1)

Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun(Pupuh LXIX, Bait 2)

Makam rani: Kamal Padak, Segala, Simping Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir Bangunan baru Prajnyaparamitapuri Di Bayalangu yang baru saja dibangun (Pupuh LXXIV, Bait 1)

beliau adalah seorang putri Kertanegara, Raja terakhir Singosari. Keempat Tantri Kertanegara menikah dengan Raden Wijaya, Gayatri konon adalah yang termasur dan yang paling jelita. candi berbahan batu ini berdenah segi empat dengan tangga masuk dibagian barat. Di dalam kawasan candi ini terdapat satu candi induk dan dua candi perwara di sebelah selatan dan utaranya. Candi induk berukuran 11,40 m x 11,40 m, mempunyai arca Gayatri (arca wanita dari ratu Sri Rajapatni, nenek dari raja Hayam Wuruk)) dengan panjang 1,1 m, lebar 1 m dan tinggi 1,2 m.

Secara horizontal sisa bangunan itu terdiri atas sebuah Candi Induk dan dua Candi Perwara yang masing-masing berada dikiri kanannya ( utara dan selatan ). Candi tampak berpusat pada tokoh utama berupa arca wanita berukuran besar yang diletakkan pada candi induk. Arca tersebut berukuran tinggi 120 cm, lebar 112 cm dan tebal 100 cm. Tinggi lapik arca dengan lebar 168 cm dan tebal 140 cm. Saat ini arca tersebut di tempatkan di bawah naungan sebuah cungkup tanpa dinding. Pada dua umpak batu Candi induk terdapat tulisan angka tahun 1291 Ç ( 1369 M ) dan 1289 Ç ( 1367 M ).

Di Candi Perwara Utara terdapat dua Yoni yang masing ceratnya disangga oleh kepala naga, fragmen Arca Ganesa dan sebuah Jaladwara. Di Candi Perwara lainnya terdapat Arca Nandi ; Arca Dwarapala dan Arca Mahisasura Mandhini, kelengkapan candi tersebut berbahan batuan andesit, selain itu terdapat pula sumuran yang berada dibagian timur laut dari bangunan induk. Candi ini memiliki candi induk yang berukiran ruangan luas sekitar 10 x 10 meter, dan dua bangunan kecil disebelah kiri dan kanannya. Ada arca tanpa kepala, diperkirakan sebagai arca Sri Rajapatni yang diberkati oleh Pendeta Jnyanawidi.

Misteri Pohon Goyang di Gunung Kunci


Misteri Pohon Goyang di Gunung Kunci-Gunung Kunci yang berdiri kokoh di Kota Sumedang, Jawa Barat, diyakini menyimpan banyak kisah misteri, salah satunya pohon yang selalu bergoyang– goyang meski tak ada angin.

Matahari enggan menunjukkan sinarnya, padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Meski begitu, tidak ada yang mengubah kesibukan para pedagang yang biasa mangkal di depan tempat wisata Gunung Kunci.

Gunung Kunci terletak di Dusun Peniunan, Kelurahan Kotakulon, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Lokasi situs ini terletak di atas kawasan Taman Hutan Raya Gunung Kunci dan Gunung Palasari yang merupakan kawasan hutan Negara. Gunung ini berfungsi sebagai kawasan hutan konservasi dengan luas 3,67 Ha berupa hutan pinus dengan ketinggian 500 mdpi.

Novi sedang asik bermain ayunan di bawah pohon besar yang berada di Gunung Kunci. Tidak jauh dari tempat Novi terlihat sebuah gua yang sudah roboh dan hanya menyisakan genangan-genangan air.

Menurut Novi, terkadang di gua tersebut sering muncul bunyi–bunyi seperti seseorang tentara yang sedang berjalan. “Kadang-kadang juga kalau kata cerita-cerita orang-orang sini mereka suka melihat pohon yang bergoyang-goyang, padahal tidak ada angin atau orang,” kata gadis kelas 2 SMK tersebut.

Novi mengaku sudah sering berkunjung ke Gunung Kunci. Namun dia sendiri belum pernah bertemu setan yang ada di Gunung tersebut. Dia hanya pernah mendengar cerita- cerita dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Gunung Kunci.

Hal senada juga diungkapkan oleh Usep. Usep adalah penjaga Gunung Kunci. Sudah empat tahun dia bekerja untuk menjaga Gunung yang merupakan bekas benteng Belanda tersebut. Namun, dia mengaku belum pernah diperlihatkan oleh sosok makhluk gaib di tempat itu.

“Kalau cerita misteri saya belum pernah mengalaminya, tetapi saya sering mendengar dari beberapa pengunjung yang datang. Katanya mereka pernah melihat pohon yang suka bergerak sendiri atau pohon yang menyerupai manusia bertubuh tinggi besar,” kata Usep dengan nada serius.

Menurut Usep, Gunung Kunci dulunya berfungsi sebagai benteng pertahanan. Di dalam gunung yang dibuat sekira tahun 1914–1917 terdapat sejumlah gua yang saling menyambung, bunker, dan juga benteng yang dilengkapi dengan kubah meriam dan senapan mesin. Namun, saat ini meriam dan senapan tersebut tidak lagi dipasang di gunung tersebut.
Selain itu, kondisi gua-gua yang ada pun sudang runtuh. Gua yang seharusnya menyambung sambil ke benteng pertahanan kini sudah dipagar. Apalagi gua tersebut dalam keadaan gelap dan lembab.

“Pernah dalam sebuah acara televisi yang melakukan uji nyali di gua tersebut pesertanya ada yang melihat tuyul. Kalau nggak salah terekam kamera juga. Itu sempat heboh juga di sini,” kata Usep.

Tidak hanya itu, ada juga beberapa penduduk yang berdagang di gunung ini sering diganggu oleh makhluk gunung. Kebanyakan dari mereka sering mendengar suara derap langkah tentara yang sedang berjalan bersama-sama.
                                                                        *****

Ujang sedang asik berkumpul bersama dengan para tukang ojek yang lainnya. Belum ada pelanggan yang datang untuk memakai jasanya. Oleh karena itu, sambil menunggu dia pun lebih memilih mengobrol dibandingkan tidur-tiduran di sebuah pos jaga yang berada tidak jauh dari tempat pangkal ojek.

Ujang sudah lebih dari empat tahun menjadi tukang ojek di daerah wisata Gunung Kunci. Setiap harinya dia menghabiskan waktu mangkal di depan Gunung Kunci untuk mendapatkan uang yang nantinya digunakan sebagai keperluan sehari – hari keluarganya.

Ujang bercerita empat tahun menjadi tukang ojek di depan Gunung Kunci pernah mengalami kisah-kisah misteri di Gunung bekas pengaduan domba tersebut. “Waktu itu malam – malam, saya bersama beberapa teman tukang ojek yang lainnya lagi asyik ngobrol di dekat pintu masuk Gunung. Kami merasa mendengar ada suara tentara berjalan padahal Gunung itu sendiri sudah dikunci sejak dari jam 5 sore,” katanya.

Lelaki berusia 45 tahun ini mengaku memang beberapa tukang ojek yang lainnya juga sering mendengar suara-suara tersebut. Tidak hanya suara derap langkah, terkadang terdengar juga suara hewan-hewan, padahal di gunung tersebut tidak ada hewan yang dipelihara.

“Katanya sih dulunya ada bekas pengaduan domba di sini, mungkin itu yang sering didengar sama masyarakat di sini. Tapi sih ada juga yang pernah dengar suara ayam berkokok atau suara-suara orang tertawa,” kata Ujang dengan raut wajah serius.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sapri. Sapri sendiri sekarang hanya menjadi tukang ojek di gunung tersebut saat gunung dibuka. Namun setelah ditutup dia lebih memilih mangkal di tempat yang lain. Alasannya jarang ada pelanggan yang menggunakan jasanya jika sudah sore.

Sapri mengatakan pernah dipanggil oleh seseorang. Menurutnya saat itu kondisi di sekitar Gunung Kunci sedang hujan. “Waktu itu saya merasa kayak ada yang manggil – manggil tukang ojek, padahal waktu itu lagi hujan. Pas saya cariin tapi ngga ada orangnya. Habis itu saya langsung pulang saja karena saya takut,” katanya.
                                                                                    *****
Keberadaan Gunung Kunci sebenarnya merupakan ikon tersendiri untuk warga Sumedang. Karena selain sebagai tempat wisata gunung ini juga merupakan paru – paru kota.

Ditanamnya pohon – pohon besar seperti pohon pinus dan pohon mahoni, menandakan bahwa kota Sumedang masih memiliki resapan air sehingga akan terhindar dari bencana banjir. Namun, bagi sebagian orang atau pengunjung, gunung tersebut justru kerap dijadikan tempat berpacaran.

Menurut Usep, pernah ada sepasang kekasih yang tidak sengaja berpacaran di gunung tersebut. Mereka pun diganggung oleh penghuni gunung dengan cara pohon – pohon yang ada di sekitarnya itu berubah menjadi orang bertubuh tinggi dan besa.

“Memang kadang – kadang pengunjung suka sembarangan di sini, mereka pacaran mungkin sampai berbuat hal-hal yang dilarang. Jadi mereka diganggungin sama penghuni gunung ini,” kata Usep.

Saat reporter Okezone mengunjungi Gunung Kunci memang terlihat sejumlah pasangan muda mudi sedang bermesraan di gunung tersebut. Ada sebagian dari mereka yang berpacaran di sekitar benteng sampai ke tempat bekas pengaduan domba yang jaraknya lumayan jauh dari pintu masuk.

Ada juga beberapa pasangan yang nekad pacaran di dekat gua yang kondisinya sangat gelap. “Pernah ada yang kesurupan di gua itu, katanya mereka pacaran di gua yang bekas benteng,” kata Usep dengan serius.
                                                                        *****
Usep mengaku, sebagai penjaga situs Gunung Kunci dirinya hanya berani menjaga hingga pukul 17.00 WIB. lebih dari itu, butuh beberapa penjaga lagi. Karena situs ini terkenal dengan sumber daya alamnya dan juga kondisi gunung yang dibuat gelap membuat gunung menjadi sedikit menyeramkan.

“Saya tidak pernah jaga sampai lebih dari jam 5. Pokoknya kalau sudah jam 4 saya umumkan ke para pengunjung untuk segera turun. Ini karena kondisi gunung yang gelap, hal itu membuat gunung menjadi lebih menyeramkan,” kata Usep.

Namun, lanjut Usep, dia terpaksa menambah jam jaga jika ada permintaan dari dinas setempat. “Misalnya kalau ada kunjungan dari paranormal atau yang lainnya. Kayak waktu itu kunjungan Ki Joko Bodo yang datang ke sini, kami harus menjaga lebih lama tetapi semuanya penjaganya datang ke Gunung,” kata Usep.

Usep mengatakan, saat kedatangan Ki Joko Bodo semua makhluk gaib yang ada di Gunung Kunci sudah diamankan di dalam sebuah botol. Menurutnya, Ki Joko Bodo sendiri yang menunjukkan botol-botol berisi makhluk-makhluk yang ada di Gunung Kunci tersebut.
“Katanya memang di sini banyak penunggunya. Kalau saya sih percaya saja karena yang namanya tempat hutan belantara. Jangankan di tempat seperti ini di rumah sendiri saja pasti ada makhluk gaibnya,” kata Usep.

Menurut Usep, saat itu Ki Joko Bodo mengungkapkan makhluk yang paling menyeramkan dan jahat yaitu adanya sosok tentara Belanda. Namun, keberadaan mereka semua diklaim sudah diamankan oleh Ki Joko Bodo.
                                                                                    *****
Tidak jauh dari Gunung Kunci, masih ada di pusat kota Sumedang ada juga Gunung Palasari. Gunung yang dikenal sebagai Benteng Palasari ini terletak di Kelurahan Pasangrahan.

Benteng ini dibangun sekira tahun 1913 – 1917 di atas tanah seluas 6 Ha. Terdiri dari 8 buah bangunan beton. Masing – masing benteng dibangun secara terpisah dalam jarak satu sama lain dengan bentuk melingkar, sama seperti yang ada di Gunung Kunci.
Di dalam benteng ini terdapat 27 ruangan berpintu yang dilengkapi 35 buah jendela dengan 46 buah lubang ventilasi.

Dulunya benteng Palasari yang merupakan benteng tertinggi di sekitar kota Sumedang ini berfungsi sebagai gudang mesiu atau sebagai pos observasi yang berjarak kurang dari 1 kilometer dari tangsi Belanda (sekarang Kodim Sumedang).

Menurut Usep, Benteng Palasari tidak terbuka seperti Gunung Kunci. Karena jalan – jalan di benteng tersebut masih rusak dan tidak disemen seperti yang ada di Gunung Kunci. Selain itu, bangunan yang ada juga hanya sedikit dibandingkan yang ada di Gunung Kunci.

“Tetapi jalanannya yang masih berantakan yang menjadi alasan utama benteng itu tidak dibuka untuk umum seperti yang ada di Gunung Kunci,” kata Usep.

Sama seperti yang ada di Gunung kunci, kondisi di sekitar benteng Palasari pun tidak jauh berbeda. Benteng itu dibuat gelap oleh pemerintah daerah setempat. “Mungkin karena hanya ada benteng – benteng dan gua – gua jadinya tidak perlu dikasih lampu. Lagi pula di Gunung kunci sama di benteng Palasari tidak diperbolehkan digunakan untuk kegiatan pramuka. Karena di gunung ini semuanya gelap,” kata Usep.

Nenek Tua Tewas Karena di Duga Pelihara Genderuwo


Nenek Tua Tewas Karena di Duga Pelihara Genderuwo - Kabar ini baru saja saya dapatkan . Benar-benar tidak masuk akal. Hanya karena tuduhan yang juga tidak masuk akal Seorang Nenek Tua dikabarkan tewas dihakimi masa karena dicurigai telah memelihara makhluk ghaib yaitu Genderuwo . Belum ada kejelasan pasti tentang nasib si Nenek saat ini . Pihak Kepolisian sedang mendalami kasus tersebut dan kabarnya sang Nenek sedang berada di rumah sakit untuk dilakukan otopsi .

Kabar ini saya dapatkan dari teman saya yang kebetulan berada di daerah Lampung . Menurut penuturan warga , sang Nenek sudah sangat lama dicurigai melakukan ritual yang aneh . Naasnya lagi , kejadian hilangnya wanita muda dan anak-anak di daerah tersebut membuat warga mencurigai aksi ritual yang dilakukan sang Nenek . Apapun itu , negara kita tidak ada mengatur undang-undang tentang Supranatural . Supranatural tidak dianggap sebuah ancaman bagi negara . Lagi pula , Ilmu Supranatural tidak bisa dibuktikan secara logika .


Mengingat hal itu , banyak terjadi fitnah dan tidak sedikit pula kejadian seperti ini banyak memakan korban . Warga seharusnya tidak main hakim sendiri , apapun itu kita harus menggunakan azas praduga tak bersalah . Jika belum ada bukti yang mengarah kepada Si Nenek , maka kita tidak bisa menghakiminya . "Tidak ada gunanya jika dibawah kepada Polisi",Ungkap seorang warga yang ditemui oleh teman saya di lokasi kejadian .

Pelihara Tuyul , Pria Ini Dilaporkan Warga Ke Polisi

 
Juri Rakyat - Karena dianggap memelihara tuyul , seorang pria di daerah Deli Serdang dilaporkan oleh ke pihak kepolisian . Warga disinyalir geram dikarenakan pria tersebut melakukan kegiatan yang sangat mencurigakan . Banyak warga yang merasa barang-barang miliknya hilang , mulai dari sepeda motor , uang , dan emas . Dengan adanya kejadian tersebut , banyak warga yang sudah melaporkan kepada pihak kepolisian tetapi hasilnya sampai sekarang masih nihil .

Maman , seorang warga yang mengaku pernah kehilangan sepeda motor menyebutkan ada indikasi jika yang bermain adalah putra daerah sini juga . Maman juga menambahkan , pihak warga sudah membentuk sendiri tim yang ditugaskan menyelidiki pelaku dari semua kejadian hilangnya barang-barang milik warga . Tidak memakan waktu cukup lama , Asep seorang warga dari perkampungan sebelah pun ditangkap .



Konon katanya , Asep memiliki ilmu ghaib yang dapat menghilang . Bahkan beliau juga memelihara makhluk tuyul dirumahnya . Berdasarkan penuturan seorang warga yang namanya tidak ingin disebutkan , mengaku bahwa seminggu ini telah mencurigai gerak gerik dari tersangka . "Beliau sering lewat di kampung ini , dan kalau lewat mata nya liar melihat rumah warga".

3 Penyebab Polisi dan TNI Yang Sering Bentrok

Kabar Polisi dan TNI yang baru saja kita dengar bentrok di Batam Kep Riau meninginspirasi saya untuk menulis artikel ini . Saya mencoba untuk netral dalam menuliskan artikel ini , berdasarkan informasi yang sudah menjadi rahasia umum masyarakat indonesia . Kenapa TNI dan Polisi sering bentrok ? . Saya sendiri memiliki seorang teman yang bekerja sebagai polisi dan satu orang teman lagi yang bekerja sebagai TNI . Dari semua curhatan yang pernah mereka sebutkan , ada beberapa alasan logis yang sudah menjadi rahasia umum kenapa hal ini sering terjadi .
  1. Kesenjangan Ekonomi
    Ada perbedaan yang bisa kita rasakan dari lembaga negara ini , salah satunya adalah kesenjangan ekonomi . Sudah bisa kita pastikan dalam hal ini Polisi lebih tinggi dibandingkan anggota TNI dalam hal ekonomi . Padahal , menurut penuturan dari seorang teman saya yang bekerja sebagai TNI , jika ditelusuri apa yang dikerjakan tentulah anggota TNI lebih capek daripada Polisi . Tetapi kenapa status ekonomi anggota Polri lebih baik daripada TNI
  2. Arogansi Aparat
    Banyak aparat yang tidak bisa mengontrol emosi mereka . Terkadang bentrokan terjadi hanya karena masalah yang sangat sepele .Seharusnya kedua lembaga negara ini memberikan contoh yang baik kepada masyarakat .
  3. Gengsi
    Salah satu biasa terjadi adalah gengsi antar lembaga . Mereka terlihat gengsi jika aparat dari lembaga lain menegur mereka dijalan . Misalnya saja , saat polisi menegur seorang TNI yang tidak mematuhi lalu lintas , tentu aparat TNI tersebut menunjukkan gengsinya dengan marah-marah tidak jelas .
Sebenarnya ada banyak penyebab dari seringnya Polisi dan TNI  melakukan bentrok , tetapi lebih dari itu kita sebagai masyarakat awam jangan sampai terpancing dengan hal yang demikian . Mari kita jaga persatuan dan kesatuan bangsa dan berusaha untuk membangun negri . Bukannya saling bentrok hanya karena masalah yang tidak masuk akal.

Cerita Rakyat - Puncak 29 (Songo Likur)


Juri Rakyat - Cerita Rakyat - Puncak 29 (Songo Likur) Pada postingan kali ini saya pengen mengenal kan salah satu gunung di gugusan gunung di daerah kota kudus-jawa tengah, mungkin nama gunung ini terdengar asing di telinga anda bagi yg luar jawa. Tapi di balik nama asing gunung ini tersimpan keindahan budaya tanah jawa yg teramat kental dan mistik…… gunung ini terkenal dengan sebutan Wukir Rahtawu (puncak 29 ).

Rahtawu sebenarnya adalah nama desa di lereng Gunung Muria masuk Kecamatan Gebog itu, bagi masyarakat Kudus dikenal banyak menyimpan misteri. Sekitar tiga dasa warsa yang lalu (lebih 30 tahun-Red), Rahtawu merupakan sebuah desa yang sangat terisolir. Sebab, belum ada jalan poros desa. Roda empat pun tak bisa menuju ke desa itu, termasuk angkudes. Satu-satunya jalan adalah lewat jalan setapak. Pendatang harus rela berjalan kaki sekitar lima kilometer mulai dari Desa Menawan. Berkat jasa Bupati Marwotosoeko, dengan tekad gugur gunung, jalan menuju desa tersebut sudah dilebarkan, sehingga Rahtawu menjadi seperti sekarang ini.

Meskipun lokasi tidak mudah dicapai, Rahtawu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka yang suka melakukan ritual ziarah. Di kawasan Rahtawu banyak menyimpan petilasan (bukan makam-Red) dengan nama-nama tokoh pewayangan leluhur Pandawa. Sebut saja petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso. Selain itu di sana juga ada kawasan yang diberi nama Jonggring Saloka dan Puncak Songolikur.

Petilasan itu banyak menarik minat orang untuk datang berziarah. Di setiap daerah biasanya ada pantangan tertentu. Di Rahtawu juga ada pantangan, yakni warga dilarang nanggap wayang kulit. Meski di sana banyak nama petilasan bernama leluhur Pandawa. Sampai sekarang tidak ada yang berani melanggar. Bila dilanggar, konon yang bersangkutan terkena bencana. Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, karena diperbolehkan.

Kata orang desa sana nama Rahtawu mempunyai arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalo indonesianya (darah yang bercecer ) Menurut mitos, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyoso yang merupakan leluhur Pandawa dan Korawa. Menurut cerita babad dan parwa, konon leluhur raja-raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata/para shangyang.

Sebuah misteri yang membingungkan , ( aku aja bingung…..hehehehhe ) banyak sekali tokoh 2 pewayangan yang petilasan nya masih di rawat oleh penduduk sekitar sampai sekarang bahkan banyak orang – orang dari luar kudus ( jateng ) banyak yg berdatangan untuk menikmati suasan pegunungan dan mistik yg ada di gunung tersebut , menurut pengalaman saya tidak salah kalau orang -orang yang suka mistik ( terutama yang beraliran kejawen ) banyak yang berdatangan ke gunung Rahtawu karena memang dari lereng gunung sampai puncak gunung itu berjajar banyak sekali petilasan – petilasan dari para tokoh pewayangan yang di sucikan dan di sebut ” eyang ” oleh penduduk sekitar . Berikut ini adalah nama – nama petilasan para tokoh pewayangan yang ada di gunung Wukir Rahtawu : Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Saloko, dukuh Semliro, desa Rahtawu. Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung “Abiyasa”, ada yang menyebut “Sapta Argo”.

Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung “Songolikur”, di puncaknya tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya. Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung “Sangalikur” sebelah timur. Eyang Lokajaya (Guru Spiritual Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga (sebelum bertaubat), di Rahtawu. Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto, berupa makam di dusun Semliro. Memang didaerah rahtawu peradaban Hindu, budha tidak tampak jelas karena tidak di temukan candi / arca yang sebagai mana di temukan di daerah lain yang mempunyai peradaban hindu / budha , yang ada hanyalah petilasan 2 batu datar yang menurut penduduk sekitar merupakan bekas tempat bersemedinya para ” suci “.

Ada satu lagi yang aneh dari kebudayaan warga sekitar, meskipun semua petilasan yang ada di Wukir Rahtawu identik dengan para tokoh Pewayangan ( Mahabarata – Hindu ) tapi di sana sangat di tabukan untuk mengadakan pagelaran wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh yang mengadakan pagelaran wayang tersebut. Menurut saya pribadi sesungguhnya gunung rahtawu dlm kajian mistik adalah netral dalam artian ,Hitam dan Putih tergantung manusianya. Kalau mau wisata mistik ke rahtawu pasti ketemu macam2 dukun/orang pintar dr mana saja datang saja dan nginap dr yg saya tahu dukun2 yg kejawen di daerahku gak lepas dr rahtawu. Saya yakin ada para bolowongalus yg sudah pernah ke rahtawu.


sumber: Kampus Wong Alus

Cerita Rakyat Jawa Barat - Dewi Sri (Dewi Padi)

 
Juri Rakyat - Cerita Rakyat Legenda Dewi Sri (Dewi Padi) Di tengah kehidupan masyarakat Purwagaluh yang hanya menggantungkan sumber makanan dari hasil buruan, kehidupan berubah menjadi neraka ketika hutan tak lagi menyediakan binatang untuk diburu.

Tanah kering kerontang dan sungai tidak lagi menyisakan air yang memberi kehidupan pada hewan dan tumbuhan. Purwagaluh adalah satu wilayah yang tengah mengalami bencana kekeringan terparah.


Sadana, Adikara, dan Dewi Sri, tiga orang yang ditugaskan mencari jalan keluar untuk membebaskan warga dari kesulitan dan memperbaiki kehidupan Purwagaluh secara keseluruhan. Namun dalam perjalanan tugas yang pertama pun mereka sudah menemukan kesulitan yang datang dari musuh bebuyutan mereka sejak kecil.


Demi mendapatkan Adikara yang dicintainya sejak kecil, Nuridami tak pernah berhenti mengejar dan menghalalkan segala cara dengan memanfaatkan kesaktian sang nenek, Nyi Ulo juga kakaknya Sapigumarang dan Singasatru.

Dalam satu pertarungan, Dewi Sri yang menyamar menjadi Camar Seta berhasil membunuh Singasatru yang saat itu memimpin kelompok Bajak Lautnya menyerang Pelabuhan Atasangin, pulau yang paling maju dan makmur kala itu dan menjadi tempat Dewi Sri, Sadana dan Adikara mempelajari sebab kemajuan Atasangin untuk diterapkan di Purwagaluh.


Sapigumarang sangat murka mengetahui kabar kematian adiknya, Singasatru di Atasangin oleh Camar Seta. Segera ia mendatangi Sadana untuk membalas dendam pada Camar Seta. Namun Nyi Ulo menahannya dengan alasan Singasatru yang jauh lebih saktipun berhasil dikalahkan Camar Seta.


Akhirnya Sapigumarang mau berlatih secara khusus bersama Nyi Ulo untuk menyempurnakan ilmu Lebursaketinya. Dari situlah Sapigumarang kemudian menyadari sumber kekuatannya yang besar, yaitu amarah yang bisa melipat gandakan kekuatannya hingga mampu menguasai Lebursaketi dengan sempurna.


Segera setelah itu Sapigumarang mendatangi Sadana untuk membunuh Camar Seta, Sadana beralih tidak mengenal Camar Seta. Sapigumarang tak mau percaya dan menyangka Camar Seta adalah Adikara yang memakai nama palsu.

Sadana yang berniat membantu dihajarnya hingga pingsan dan Adikara dibawa pergi setelah tidak berdaya karena Nuridami merayu Sapigumarang untuk tidak membunuhnya.


Dewi Sri sangat sedih mengetahui kekasihnya, Adikara ditawan oleh Sapigumarang. Namun berkat kesaktian Malihwarni yang diajarkan oleh kakeknya, Aki Tirem, Dewi Sri bisa merubah dirinya menjadi seekor harimau jadi sangat frustasi dan akhirnya bunuh diri.


Sapigumarang jadi murka dan gelap mata setelah Budugbasu dan Kalabuat menghasutnya dan menuduh Dewi Sri yang telah membunuh Nuridami karena cemburu. Sapigumarang langsung menyusun kekuatan untuk membunuh Dewi Sri sekaligus menguasai Purwagaluh yang saat itu sudah berubah menjadi wilayah yang sangat makmur berkat Dewi Sri, Sadana dan Adikara yang berhasil menciptakan sawah padi di sana.


Dan ketika Dewi Sri dan Adikara merayakan panen padi pertama bersama warga di Desa Cidamar, pasukan Sapigumarang yang dipimpin Budugbasu datang untuk merebut semua hasil panen dan menangkap Dewi Sri. Namun Dewi Sri yang sudah sangat sakti berhasil mengalahkan Budugbasu dan semua pasukannya.


Sapigumarang tidak menyerah, ia menunjuk Kalabuat untuk menggantikan Budugbasu dan memimpin pasukan yang lebih banyak. Kalabuat yang licik bersiasat untuk menyerang malam hari dengan kekuatan penuh. Saat itu Dewi Sri dan Adikara hanya berjaga - jaga dengan pemuda dan warga yang jumlahnya sangat sedikit karena banyak diantara warga Cidamar yang terbunuh pada peperangan melawan Budugbasu.


Kalabuat dan pasukannya yang besar datang dengan penuh percaya diri. Ketika mengepung sawah, tempat Dewi Sri memfokuskan penjagaan. Dewi Sri dan Adikara tak mau menyerah begitu saja, mereka melawan semua pasukan Kalabuat dengan sepenuh tenaga. Saat itu Budugbasu yang sangat dendam keluar dengan pasukannya karena ingin Dewi Sri dan Adikara hanya mati di tangannya.


Kalabuat sempat marah karena Bubugbasu hanya memimpin pasukan bantuan dan seharusnya belum boleh keluar. Tapi Budugbasu tak peduli dan segera menyerang Dewi Sri untuk membunuhnya.Dewi Sri dan Adikara sangat terdesak menghadapi jumlah pasukan yang semakin banyak. Saat itulah Dewi Sri mengeluarkan ajian Malihwarninya dan merubah dirinya menjadi ratusan kelelawar besar yang sangat buas.


Pasukan Kalabuat dan Budugbasu kalang kabut menghadapi serangan ratusan kelelawar, mereka semua terbunuh dan hanya sedikit yang berhasil melarikan diri. Sementara Kalabuat dan Budugbasu pun tak luput dari serangan kelelawar. Mereka pun kemudian melarikan diri dengan wajah dan bukan yang penuh luka gigitan.


Sapigumarang sangat murka mengetahui Kalabuat dan Budugbasu kembali kalah oleh Dewi Sri, terlebih lagi semua pasukannya yang habis terbunuh. Ia dengan murka menghajar Kalabuat dan Budugbasu. Kalabuat membela diri dan menyalahkan Budugbasu yang membawa keluar pasukan bantuannya hingga akhirnya semua pasukan habis terbunuh.


Budugbasu tak mau kalah, ia menyalahkan Kalabuat yang bersiasat menyerang malam hari hingga mereka diserang kelelawar ganas ciptaan sihir Dewi Sri.


Mengetahui Dewi Sri yang menguasai sihir Sapigumarang segera meminta bantuan Nyi Ulo untuk menghadapi Dewi Sri. Namun Dewi Sri dengan cerdik mengalahkan semua sihir dari Nyi Ulo yang menyerangnya, bahkan Nyio Ulo pun tewas oleh serangan balik dari Dewi Sri.


Sapigumarang murka dan menantang Dewi Sri untuk adu tanding dengannya. Dewi Sri melayani tantangan Sapigumarang dan bertarung dengan tangan kosong. Sapigumarang yakin mampu membunuh Dewi Sri dengan kekuatan penuh Lebursaketinya. Namun Dewi Sri yang sudah bersiap dengan ajian Sungsangbuana berhasil mengembalikan pukulan dahsyat Lebursaketi.


Sapigumarang pun tewas oleh ajian Lebursaketinya sendiri. Mengetahui kenyataan itu Kalabuat dan Budugbasu tak bisa berbuat apa-apa. Merekapun menyerah ketika pasukan Sadana tiba-tiba datang meringkusnya.


Semua warga dan pasukan bergembira menyambut kemenangan Dewi Sri. Mereka semua mengelu-elukan nama Dewi Sri dan menjulukinya sebagai Dewi Padi karena jasa terbesarnya yang telah menciptakan tanaman padi diseluruh wilayah Purwagaluh.


Dikutip dari Indosiar

Seorang Pria Berkekuatan Listrik

Juri Rakyat - Seorang Pria Berkekuatan Listrik. Manusia pada dasarnya memang punya energi listrik dalam tubuhnya. Tapi bagaimana kalau benar-benar ada manusia yang punya daya listrik yang bisa menyalakan lampu ketika dipegangnya. Kejadian itu ditemukan di China, ketika seorang kakek bernama Zhang Deke dari Xinjiang memiliki kemampuan menyembuhkan dengan energi listrik.

Dengan menggunakan arus listrik 220 volt di tubuhnya, kakek Zhang Deke mengobati Wang Xinhao yang menderita sakit pinggang. Beberapa bulan lalu, Wang Xinhao proliferasi ruas tulang pinggang, 1-7 sen dinya kaku, sepanjang hari berbaring di ranjang dan tidak dapat mengatasi kehidupan sehari-harinya. Rumah sakit setempat juga belum berani melakukan operasi mengingat keadaan penyakit dan usianya. Namun, setelah diterapi listrik 9 kali/bulan oleh kakek Zhang Deke, keadaan penyakit Wang Xinhao tampak mulai membaik, dan sekarang juga sudah bisa bergerak aktif mengendarai sepedanya.
     Contoh lain, Kakek Zhang Deke menggantungkan 6 buah lampu 13 watt warna merah dan putih di atas kepala dan telinganya, satu tangannya menggenggam kawat bermuatan listrik, sedang tangan satunya lagi menggenggam kawat tak berarus listrik, setelah tersambung dengan sumber listrik, perlu diketahui sumber listrik sebesar 220 volt di badannya itu sebagai penghantar, dan tidak lama kemudian 6 buah lampu 13 watt semuanya pun menyala seketika, bahkan tingkat terang lampu tersebut dapat dikendalikannya.

Menurut informasi, kakek yang berusia 71 tahun ini adalah seorang buruh pensiunan, kadang kala ia selalu berolahraga untuk “menyehatkan badannya”. Deng an arus listrik tegangan 220 volt, orang-orang setempat menyebutnya sebagai “manusia ajaib” atau “manusia listrik”. Tubuhnya tidak saja sebagai konduktor, bahkan dapat mengendalikan arus listrik. Selain itu, arus listrik bertegangan 220 volt yang melalui tubuhnya juga dapat memanggang hingga matang seekor ikan hidup dalam waktu 2 menit.

Kakek Zhang kerap mengobati encok, radang sendi, sengal pinggang dan sebagainya kepada para kerabat dan sahabat karibnya atau mereka yang berhubungan baik dengannya dengan arus listrik di badannya, dan hasilnya sangat efektif. Setelah tubuhnya dialiri arus listrik tegangan 220 volt, ke-5 jari tangannya pun menjadi “jarum listrik”, yang digunakan untuk terapi listrik, Kakek Zhang juga tidak pernah meminta bayaran pada orang yang diterapi dengan listriknya, jika dalam 3 hari terapi dan belum tampak hasilnya, maka ia akan meminta penderita untuk berobat ke rumah sakit.

Tahun 1994 setelah pensiun, ia ke lembaga ilmu pengetahuan China cabang Xinjiang untuk check-up, dan kesimpulan dari personil riset ilmiah, kondisinya termasuk suatu manifestasi abnormal kekuatan tubuh yang unik, adapun mengenai sebabnya, para ahli terkait tidak memberi jawaban yang pasti....
apa ada kelainan dengan sistem transpotrasinya(darahnya)? pasalnya listrik pasti menjalar lewat air dan garam yang lewat di tubuhnya...